Cari Disini

Wabah - Jujur Prananto

Kerjaan dari user warnet minta ketikin cerpen karya Jujur Prananto berjudul Wabah, terlintas di pikiran, dari pada capek2 ngetik mending searching di internet.... eh, tapi dah capek ngubek - ngubek mesin pencari tidak ketemu juga isi cerpennya, terpaksa saya ketik sendiri. Cerpen ini menceritakan tentang orang-orang yang gemar bermain judi sehingga lupa diri. Jutaan orang memborong semua jenis undian berdasarkan angka itu. Tebakan mereka ternyata tepat semua! Penyelenggara undian bangkrut seketika! Setelah jatuh korban berjuta-juta!. Sindiran nyinyir dan sarkastik Jujur Prananto pada fenomena judi “Porkas” yang marak di akhir tahun 80-an tertuang dalam cerpen ini. Cerpen ini terangkun dalam buku yang berjudul Parmin (Kumpulan Cerita Pendek) yang diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas Februari 2002.

W a b a h
Cerpen Jujur Prananto

Suasana khusyuk pembacaan doa – doa bagi almarhum anak Mak Tumi berubah jadi bingar – bingar oleh kedatangan Satiman yang berteriak – teriak seperti orang kesurupan, sambil tangannya mengacung – acungkan sebuah bungkusan dari kain sarung.

“Mak Tumi! Mak Tumi! Seluruh ongkos penguburan anakmu aku yang bayar, Mak! Aku yang bayar biaya sekolah yang terlanjur kau keluarkan untuk anakmu itu aku ganti. Hitung semuanya berapa! Lalu kau sendiri mau apa? Bayar utang pada Pak Darmo? Mau giwang emas? Yang berapa karat? Aku bayaaar!”

Orang – orang yang sudah lama mengenal Satiman sebagai pemuda setengah sinting semula tak terlalu peduli dengan ocehannya. Para hansip yang bertugas langsung berdiri dan memaksanya pergi. Akan tetapi, rupanya Satiman tetap bertahan. Ia bersikukuh menemui Mak Tumi hingga terjadi pergelutan. Badan para hansip yang kerempeng itu tak kuasa melawan kekuatan Satiman sampai ketiganya terjungkal ke halaman. Pada saat itulah bungkusan sarung yang dibawa Satiman terlepas dan jatuh.

“Uang!!!!”

Semua terpana. Pegangan atas diri Satiman terlepas begitu saja. Bungkusan sarung yang dibawa Satiman ternyata berisi belasan gepok uang yang kini berceceran di lantai.

“Uang! Benar – benar uang...!”

Semua orang berbalik memandang Satiman. Ada yang takjub, ada yang curiga, ada yang langsung mendakwa.

“Kamu rampok dari mana uang sebanyak ini?”

“Dari anak Mak Tumi...!”

Semua mendecak kesal.

“Anak Mak Tumi sudah masuk kubur, tahu???”

“Anak Mak Tumi membawa berkah...,” ucap Satiman penuh tekanan. “Ia mati kemarin tanggal empat bulan sepuluh tahun sembilan satu. Aku lari ke kota beli undian. Empat satu kosong sembilan satu. Lima nomor tepat kupilih. Lima nomor!”

Uang. Sedemikian lama mereka merindukan lembar – lembar kertas berkekuatan ajaib itu, mendadak begitu saja hadir dalam jumlah yang tak terkirakan. Lama – lama orang tersadar dari keterpurukan mereka dan suasanapun berangsur jadi gaduh.

Mak Tumi mengangkat kepalanya, menatap Satiman dengan pandangan penuh terima kasih. Di tengah – tengah kesedihannya ia terhibur juga merasa bakal mendapat “uang duka”. Dan orang – orangpun berebutan menggendong tubuh Satiman dan mendudukkan di tepian ranjang dalam rangka mendambakan “uang gendong”.

***

Anak mak Tumi adalah korban ketujuh wabah penyakit yang telah berjangkit selama kurang lebih sebulan di desa ini. Korban pertama sampai kelima mati secara mengenaskan tanpa sempat mendapatkan pengobatan dokter. Namun, setelah dokter turun tangan pun korban keenam tetap jatuh. Obat – obat yang ada tak mampu menanggulangi wabah itu

Satu hal yang pasti ialah bahwa rata – rata penduduk berada dalam kondisi pertahanan tubuh yang sangat lemah. Persediaan makanan menipis. Makanan pokok adalah ubi kering, tak ada makanan yang lain karena musim kemarau yang panjang.

Itulah maka, keajaiban yang didapat Satiman dianggap sebagai suatu pertanda. Bahwa harus ada tujuh korban dulu sebelum datangnya kesejahteraan dan kemakmuran.

Atas sponsor Satiman, seluruh penduduk desa sepakat merayakan hari bersejarah ini. Beberapa orang cepat – cepat disuruh ke kota untuk membeli beras dan bahan makanan lainnya. Pesta besar – besaran diadakan selama tujuh hari tujuh malam guna melupakan semua kesedihan dan penderitaan selama ini. Sampai akhirnya uang Satiman nyaris habis. Makanan yang dibeli tandas. Pesta pora usai sudah. Kelaparan mulai terasa lagi. Satu dua orang mulai jatuh sakit lagi.

Mulai saat itu mereka mempunyai kiat bahwa akan hadirnya kesejahteraan dan kemakmuran. Dalam rangka menjalankan kiat itulah korban kedelapan dibiarkan sakit sampai sekarat. Para sanak saudara dan tetangga menanti dengan perasaan berdebar.
Sore hari matilah ia. Seorang segera ditugaskan berangkat ke kota.
“Tanggal berapa sekarang?”
“Tanggal sepuluh.”
“Bulan?”
“Bulan sepuluh.”
“Tanggal sepuluh bulan sepuluh. Satu kosong satu kosong sembilan satu...” Dan dengan penuh keyakinan berangkatlah sang Utusan ini untuk memborong nomor undian.

***

Susana penantian hari penarikan undian bagaikan perang tanpa melihat lawan. Tegang, sunyi, khawatir sekaligus harapan untuk cepat berakhir dan menang.
Namun, penantian itu berakhir dengan kekecewaan. Korban kedelapan nihil dalam membawa hasil. Nomor undian yang mereka borong ternyata blong.

“memang tidak bisa berturut – turut menang.” Ucap seorang penduduk menghibur diri.

“Saya rasa karena orang itu mati bukan karena penyakit. Tetapi, karena memang sudah tua.”

Korban kesembilan adalah bayi umur setahun, yang benar – benar mati karena wabah. Nomor undian yang dipasang berdasar tanggal kematian bayi ini ternyata blong juga.

“Bayi, sih! Mestinya seumurlah dengan anak Mak Tumi itu.”

Korban kesepuluh adalah perempuan berumur empat belas tahun, seumur dengan anak Mak Tumi. Namun, nomor undian yang dipasang tetap melenceng.

“Anak Mak Tumikan lelaki. Korban yang ini perempuan. Ya, enggak bakalan kena.”

Korban kesebelas adalah anak lelaki berumur empat belas tahun. Namun, hujan duit seperti yang dialami Satiman tak kunjung terulang lagi. Begitu juga korban kedua belas, tiga belas...

“Terang saja, tiga belas angka sial. Barangkali kita memang harus menunggu korban keempat belas. Empat belas kan kelipatan dari tujuh?”

Tapi korban keempat belas tetap saja meleset. Korban kelima belas “cima selisih satu nomor”. Korban kedua puluh “persis”, tetapi urutannya terbalik. Korban ketiga puluh “sebenarnya kena asal dimistik”. Dan makin banyak saja predikat angka – angka keramat itu, tanpa satu korban pun berhasil melahirkan “Satiman – Satiman baru”.

“Barangkali kita harus lebih prihatin.”
“Padahal tak boleh menyerah.”
“Putus asa bukan tindakan terpuji.”
“Selalu masih ada harapan.”
“Istri saya masih menyimpan cincin kawin.”
“Mantu saya masih punya ojek.”
“Diam – diam kambing saya masih ada satu.”
“Ayam saya masih dua.”
“Kita jual semua.”
“Kita pertaruhkan sampai angka yang penghabisan.”
“Angka empat puluh adalah angka keramat...”

Semua berpaling dan terkesima, “Pak dukun!”
Yang datang belakangan ini memang seorang dukun paling sakti di desa. Ilmunya tinggi. Istrinya lima. Ekspresi mukanya sangat mistik. Semua tak berani membantah.

“Kita hemat kekayaan kita untuk menunggu sampai jatuh korban keempat puluh.”

Semua penduduk desa seratus persen menyetujui ucapan dukun. Yang sakit mereka sembunyikan agar tidak ketahuan dokter. Yang mati mereka kuburkan di tempat tersembunyi. Posyandu sudah lama ditinggalkan. Segala macam program kesehatan praktis tidak laku. Maka, korban – korban pun berjatuhan tanpa hambatan. Jumlahnya melesat cepat sampai tiga puluh enam, tiga puluh tujuh, tiga puluh delapan...

Menjelang jatuhnya korban keempat puluh ide – ide gila mulai merebak. Semua mereka berharap agak sanak saudara merekalah yang paling cepat mati. Demikianlah, segera setelah jatuhnya korban ketiga puluh sembilan, para ayah meracuni istri dan anak – anaknya. Para istri meracuni suami – suami mereka. Para anak meracuni orang tua. Hingga dalam tempo tak terlalu lama, seluruh penduduk desa mati semua.

***

Kematian massal ini menjadi berita utama di semua media ibu kota. Agen – agen penyelenggara seminar berebut pembicaraan dan berlomba mencari tempat – tempat di hotel berbintang untuk menyelenggarakan seminar dengan pokok bahasan sekitar kasus kematian massal itu.

Pada setiap kesempatan di berbagai restoran, coffe shop, rumah makan padang, lapo tuak, warung tegal, kantor – kantor pemerintah, kantor – kantor swasta, di lobi – lobi hotel, fitness center, panti pijat, semua orang bicara soal kasus ini. Dan semua menyesalkannya dengan nada penuh gairah.

“Berapa korbannya?”
“Lima ratus enam puluh tiga.”
“Tanggal berapa kejadiannya??”
“Tiga Desember.”
“Lima enam tiga tiga satu dua...”
“Ya, ya, lima enam tiga tiga satu dua!”

Jutaan orang memborong semua jenis undian berdasarkan angka itu. Tebakan mereka ternyata tepat semua! Penyelenggara undian bangkrut seketika! Setelah jatuh korban berjutah – juta!

No comments:

Post a Comment

Masukkan Nama / Jati Diri Bila Ingin Berkomentar dengan klik pilih profile pada kolom di bawah... Demi Terikatnya Silahturahmi...